Saturday, May 21, 2016

Cerpen Cinta Pertama

Dengan seragam yang masih melekat di tubuhnya, Aiko berjalan menyusuri tepi taman kota. Langkahnya seperti tertarik sebuah magnet besar, menariknya ke arah danau buatan di taman itu, yaitu tempat yang sama seperti kemarin.

“"Ternyata kamu kembali lagi...?"” Aiko menoleh seketika saat mendengar suara itu. Cukup terkejut, karena sebelumnya memang hanya ada dia sendiri di tempat itu.
“"Apa kamu bilang? Kamu lagi...? Huh, memangnya aku tidak boleh ada di sini? Ini  kan tempat umum, jadi aku juga berhak ada disini"” jawab Aiko jutek. Dia hanya tersenyum manis, lalu menyamakan posisinya seperti Aiko. Duduk santai beralaskan rumput taman sambil mengadap danau.

“"Iya, aku tahu itu. Jadi kamu nggak perlu emosi!"” balas seseorang tersebut tak mau kalah.
“"Satu hal yang ingin ku tanyakan padamu."”
“"Apa?"
“"Kenapa kamu selalu datang tiba-tiba? Seperti hantu saja..."” ketus Aiko padanya.
“"Hahaha... kamu pikir aku hantu? Atau kamu takut kalau aku benar-benar hantu?”" pemuda itu bebalik tanya.
“"Yang benar saja! Tampangmu nggak seram sama sekali! Siapa bilang aku takut?!”" jawab Aiko sambil melipat kedua lengan tangan nya di dada.

Mereka terdiam sejenak, membiarkan angin sejuk membelai mereka dengan lembut. Tapi Aiko dengan tiba-tiba merubah posisinya, ia kini telah berada di hadapan pemuda itu. Mungkin penasaran...

“"Namaku Aiko" Aiko mengulurkan tangannya. Namun pemuda itu hanya menatap tangan Aiko, lalu menatap wajah Aiko dengan lukisan malu-malunya.
“"Namaku Denny!" dia tersenyum, sangat manis, tanpa meraih tangan Aiko yang sedari tadi terulur. Yang ada, pemuda bernama Denny itu hanya merubah posisinya menjadi berbaring. Menikmati pemandangan langit, melihat serunya awan-awan di atasnya melayang dengan riang. Aiko mendengus kesal, namun sedetik kemudian ia tersenyum dan menempatkan earphone-nya ke kedua telinganya.

*** (Flash Back)

Hari ini Cinta merasa bosan di rumah neneknya. Cinta? Ya, gadis berusia 4 tahun yang tempo hari berkunjung ke rumah neneknya bersama sang ibu.

Cinta berjalan menyusuri jalan-jalan yang diberitahukan nenek padanya. “"Berjalanlah ke arah kanan dari rumah kita ini. Saat bertemu pertigaan, belok ke kiri. Lalu di ujung jalan, masuklah ke gang sebelah kanan. Disekitar situlah taman itu."  begitu bunyi petunjuk arah yang di berikan nenek Cinta, lengkap dengan isyarat-isyarat tangannya. Dan berhasil, Cinta menemukan taman bermain itu. Sepi. Tak ada satu orangpun di taman itu. Akhirnya ia dan bonekanya(Haru-chan) yang sengaja Cinta bawa mendekat ke arah sebuah ayunan.

“"Haru-chan, koko ni naze son’nani shizukashizuka?" (Haru-chan, kenapa disini sangat sepi?)” Cinta berbicara dengan boneka yang ia pangku sambil berayun. Setelah lima kali ayunan di dorong oleh kaki nya, seorang anak laki-laki sebayanya menghampiri Cinta.
“"Hai. Sepertinya aku baru melihat kamu. Kamu anak baru, ya?"” Tanya nya.
"Doomou? Watashi wa rikai shite imasen." (Apa yang kamu bicarakan? Aku nggak ngerti)” jawab Cinta heran.
"Kamu ngomong apa barusan? Bahasa apa itu?"” lelaki kecil itu tak kalah heran.
“"Anata ga hanashite iru?" (Apa sih yang kamu bicarakan?)”
“"Wah..! Sepertinya kamu benar-benar nggak ngerti bahasa Indonesia."” kata lelaki kecil itu sambil mengaruk belakang kepalanya. “ "Kenalkan.. Aku Tama. Namaku Ta-ma!" dia memperkenalkan namanya sambil memegang dadanya dengan tangan kiri, dan tangan kanan terulur ke hadapan Cinta.
“"Ta-ma?"” Cinta terdiam sesaat. Lalu seakan mengerti maksud Tama, ia meraih uluran tangan Tama, "“Watashi wa rikai , Tama-chan. Watashi wa Cinta desu." (Aku ngerti, Tama-chan. Namaku Cinta)” jawab Cinta dengan semangat. Kemudian mereka berdua tertawa bersama.

***

Seorang lelaki paruh baya memasuki ruangan bernuansa putih. Kini di hadapannya nampak seorang pemuda terbaring tak berdaya diatas pembaringan ruangan itu. Alat-alat medis penyokong kehidupan terpasang di tubuh pucatnya itu.

“"Sudah enam bulan, nak... Kamu memang kuat. Ayah bangga sama kamu. Apalagi bila kamu secepatnya bisa membuka matamu kembali..." lelaki paruh baya itu meneteskan beberapa bulir air matanya sebelum akhirnya melangkah pergi meninggalkan ruangan itu.
“"Ayah... Aku memang kuat, tapi aku nggak bisa mengeluarkan diri dari jebakan ini. Aku tersesat, yah.”" Suara seseorang yang tentunya tidak bisa didengar oleh lelaki paruh baya tersebut.

***
Hari ini merupakan hari kesepuluh Aiko mengenal Denny. Selama sepuluh hari itu pula mereka selalu bertemu di taman itu. Bernyanyi bersama, bercerita, dan banyak lagi. Namun ada sesuatu yang mengganjal pikiran Aiko. Setiap kali Aiko menawari Denny makanan atau minuman ringan, ia selalu menolak dengan alasan tidak suka. Lalu pakaian yang ia kenakan, Denny selalu memakai pakaian berwarna putih-hitam dan selalu terlihat rapi dan bersepatu. ‘Entahlah, mungkin itu memang gayanya.’ ucap Aiko dalam hati.
Aiko dan Denny berjalan beriringan, menyusuri tepi danau taman itu. Menikmati nyanyian keheningan dari lingkungan danau. Mereka terasuki tentramnya keheningan, hingga tak berniat mengeluarkan sekecil suarapun, sebelum akhirnya sebuah potongan lagu ‘First Love’ milik Utada Hikaru dari handphone milik Aiko memecah keheningan itu.
“"Apa itu? Reminder?”" tanya Denny ketika Aiko baru saja meraih handphone-nya dan melihat sekilas ke arah layarnya.
“"Iya".” Aiko tersenyum.
“"Pasti tentang sesuatu yang penting... Iya, ‘kan?"” Denny berhenti berjalan, berusaha berteduh di bawah sebuah pohon yang berada di tepi danau itu.
“"Iya. Kenapa kamu tau?”"

Denny sejenak tersenyum, tak berubah, tetap manis. “"Hanya tebakan saja." jawabnya sinkat.

“"Ha~ah... Ini adalah hari dimana tahun itu aku bertemu dia".” Keluh Aiko.
“"Dia?" tanya Denny heran.
“"Bisa dibilang dia cinta pertamaku...”"
Semilir angin lembut membelai tubuh Aiko dan Denny.

*** (Flash Back)
Cinta berjalan masuk ke dalam sebuah rumah yang cukup besar. Dengan di gandeng oleh Tama, ia membuang keraguannya untuk memasuki rumah itu. Mereka berdua melewati pintu dengan baju yang cukup basah.

“"Ciintaaa? sampai hujan berhenti kamu di rumahku aja ya...”" Tama mengatakan itu sambil berusaha menjelaskannya dengan ekspresi serta gerakan tangannya sedemikian rupa agar Cinta bisa mengerti apa yang ia katakan. Cinta hanya menjawab dengan sekali anggukan kepala.

“"Tama, dia siapa?" seorang pria dewasa muncul dan bertanya pada Tama.
“"Ini temen baru ku, yah. Namanya Cinta" Tama tersenyum manis kepada ayahnya.

***

“"Cerita cinta pertama kamu sangat menarik Aiko." Denny tersenyum dengan mata yang berbinar setelah mendapatkan cerita dari Aiko. Aiko terdiam sesaat.
“"Denny...?
"Ya?”
"Boleh aku tanya sesuatu?" Aiko duduk di bawah pohon rindang itu.
"Boleh, tanya apa?"” Denny pun ikut menyamakan posisinya dengan Aiko.
"Dimana rumah kamu?”"
“"Kenapa kamu tanya rumahku? Kamu suka aku, ya?"” pemuda manis itu bertanya dengan senyuman dan sangat percaya diri.
"Mmm, bu-bukaaan... Maksud aku... Aku cuma..."” jawab Aiko terbata-bata.
“"Datang aja ke Rumah Sakit Pelita. Cari dokter bernama Hendi Prabowo." Denny tiba-tiba memotong penjelasan Aiko, "Saat bertemu dengan dokter itu, sebutkan nama lengkap kamu, lalu tanyakan aku padanya" tambah Denny.
"Kenapa malah tanya sama dokter?" tanya Aiko setelah terdiam sekitar 5 detik.
"Aku nggak mau ngasih alamat rumah ku dengan gampang!"” Denny tersenyum jahil pada Aiko.

*** (Flash Back)

Pukul 18.00 WIB, Cinta kembali ke rumah neneknya dengan di antar oleh Tama dan ayahnya. Nenek Cinta keluar rumah ketika mendapat ketukan pintu dari arah luar rumahnya.
“"Cinta? Kamu dari mana saja, sayang?"” wanita tua itu memeluk cucunya dengan dengan erat.
"Maafkan saya Bu, anak saya yang membawa Cinta ke rumah. Sambil menunggu hujan reda, anak saya, Tama, mengajak Cinta main di rumah kami. Rumah kami dekat dengan taman bermain itu, Bu."” jelas ayah Tama yang saat itu memakai pakaian serba putih.
"Oh... Maaf, Cinta sudah merepotkan kalian." Ucap nenek Cinta khawatir.
“"Tidak, Bu.” ayah Tama tersenyum pada nenek Cinta, “Kami permisi ya, Bu”"
Tama dan ayahnya, pergi menghampiri mobil mereka
"Tama-chan??" Tama menoleh sesaat ketika mendengar Cinta memanggilnya. “"Besok main ke rumahku ya.!" (Ashita watashinoie ni asobu…).” Tama terlihat bingung, ia tak mengerti apa yang Cinta bilang barusan.
“"Cinta bilang, besok Tama harus datang dan main bersama Cinta disini.." nenek Cinta dengan sigap menjelaskan pada Tama.
“"Iyaaa" Tama mengangguk dengan semangat dan kembali berlari ke samping ayahnya yang telah berjalan mendahuluinya.

***

Hari sabtu, hari yang cerah namun angin cukup banyak berhembus. Seperti biasa, sepulang sekolah Aiko kembali singgah di taman berdanau itu. Namun yang beda adalah Denny tak kunjung muncul di taman itu. Padahal Aiko telah 30 menit tiba disana.

Satu jam kini telah ia lewati sendirian dengan melempar batu-batu kecil ke arah danau.“"Tumben hari ini dia nggak datang...”" ucapnya dalam hati. Bosan menunggu, Aiko pun akhirnya bangkit dari duduknya dan berniat pulang.

Sebelum melangkah pergi, ia kembali teringat jawaban Denny saat ditanya alamat rumahnya. Aiko pun berniat pergi ke Rumah Sakit itu, dan menanyakan pada dokter Hendi.

Pukul 17.00 wib, dengan menggunakan dress berwarna putih serta rambut ikal-panjang miliknya terurai rapi, Aiko meyakinkan dirinya untuk masuk ke lobi Rumah Sakit Pelita itu. Kemudian bertanya kepada salah satu perawat tentang keberadaan dokter Hendi Prabowo yang ia cari. Awalnya sang perawat tidak begitu yakin terhadap Aiko, namun akhirnya Aiko bisa meyakinkan perawat itu dengan berdalih bahwa ini merupakan hal yang sangat mendesak.
Dengan di antar oleh perawat tadi, Aiko kini telah berada di depan ruangan dokter Hendi. Ia terlihat mengatur nafasnya.

“"Maaf, Dok. Ada seseorang yang ingin menemui Anda”" seru perawat tadi setelah mengetuk pintu ruangan.
“"Ada perlu apa?”" terdengar sahutan sang dokter dari dalam ruangan.
“"Katanya keperluan mendesak, Dok."
“"Baiklah."
Dokter Hendi membuka pintu ruangannya dan membiarkan Aiko masuk. Kini Aiko dan dokter Hendi telah duduk di sofa dengan posisi berhadapan.
“"Kamu siapa? Ada perlu apa dengan saya?”" tanya dokter Hendi.
“"Saya temannya Denny, Dok. Kemarin Denny bilang saya harus menemui dokter kalau ingin menyanyakan alamat dia."
“"Denny? Kemarin?"” dokter Hendi terlihat sangat heran.
“"Iya, Dok.”" Aiko mengangguk kaku.
“"Tapi Denny kan..."” kalimat sang dokter tertahan, Aiko sedikit memiringkan kepalanya, “"Ah, lupakan. Siapa nama kamu?"” tanya Dokter Hendi.
“"Nama saya Miyamaki Cintarra Aiko, Dok."
“"Cinta?”" gumam dokter Hendi dengan sedikit terkejut.

*** (Flash Back)

“"Cintaaa... Cintaaa...”"

Hari ini Tama menepati janjinya pada Cinta. Dengan bersemangat ia mengetuk pintu rumah Cinta dan memanggil namanya. Tak lama, Cinta membuka pintu rumahnya.

“"Maaf, Tama-chan. Aku nggak bisa main. Aku harus pulang.”" Cinta berkata dengan bahasa Indonesia yang masih kaku sembari menangis tersedu.
“"Kenapa? Cinta mau pulang kemana? Ini kan rumah Cinta...”" Tama pun ikut menangis.
“"Kamu yang namanya Tama, ya?”" tiba-tiba ibu Cinta keluar menghampiri Cinta yang berada di teras rumah. “"Maaf ya, sayang. Hari ini kami harus pulang kembali ke Jepang. Mungkin suatu saat nanti kamu dan Cinta bisa bertemu lagi di sini.”" Ibu Cinta mengusap kepala Tama sambil tersenyum ramah. Sementara Tama masih menangis.
“"Ayo, Yuki (Ibu Cinta). Taksi nya sudah datang. Nanti kalian terlambat sampai di bandara." nenek Cinta menatap Tama, dan mengusap kepalanya. “"Suatu saat nanti kalau Cinta kembali, nenek pasti akan kasih tau Tama. Nenek hanya mengantar Cinta dan tante Yuki ke bandara.”"

Ibu Cinta, nenek Cinta, serta Cinta melangkah ke arah taksi. Cinta yang masih terisak berjalan dengan langkah berat sambil digandeng oleh ibunya. Taksi pun akhirnya melaju pasti menuju bandara.
Tama teringat pada boneka beruang yang Cinta tinggalkan di rumahnya kemarin. Sedari tadi memang ia dekap, tapi karena berita Cinta akan pulang ke Jepang tadi, ia sampai lupa mengembalikannya. Tama kembali tersedu dengan Haru-chan (boneka beruang Cinta) di dekapannya.

***

Setelah 1,5 jam, Aiko keluar dari ruangan dokter Hendi dengan mata berkaca-kaca. Kamar Anggrek nomor 5, itu tujuan langkah lemasnya kini. Tak lama ia membaca sebuah papan kayu berketerangan ‘Kamar Anggrek’ di atas pintu sebuah kamar, namun tertera keterangan angka 1 di depan pintu. Dengan sigap Aiko langsung melangkah ke arah 4 kamar di sebelah kiri kamar yang pertama.

Dengan sedikit ragu Aiko memutar engsel pintu kamar itu dan membukanya. Beberapa langkah setelah ia masuk, Aiko tertegun melihat pemandangan di hadapannya. Tubuh Denny tertidur tenang ditemani alat-alat medis penyokong kehidupan terpasang di tubuhnya. Aiko mendekat, kali ini air matanya telah mengalir deras di pipinya, ia melihat wajah Denny yang pucat. Sangat berbeda dengan Denny yang selalu ia temui di taman.
Aiko meraih Haru-chan(boneka beruang) miliknya yang derada di atas meja di samping tempat tidur, mendekap boneka tersebut sambil terisak pelan.

“"Selamat datang, Cinta...”" Cinta menoleh dan mendapati“arwah” Denny yang berwajah segar ada di belakangnya.
“"Denny...?”" Denny hanya tersenyum, "“Jahat! Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau kamu itu Tama?!”"
"“Namaku memang Denny, Cinta. Tepatnya Denny Pertama".” Aiko (Cinta) pun berdiri, melangkah ke hadapan Tama. Tangan kanannya terangkat, berusaha menyentuh pipi Tama di depannya. Namun tak berhasil. Cinta kembali menurunkan tangannya, ia kembali menjatuhkan air matanya sambil menatap nanar ke arah Tama. Tama tetap tersenyum.
“"Ayo keluar. Aku kurang suka sama atmosfir dalam kamar ini...”" Tama melangkah keluar kamar di ikuti Cinta di belakangnya.

***

Sabtu malam, malam minggu, mungkin pemuda-pemudi di luaran sana menantikan malam ini. Tapi tidak bagi Cinta, malam minggu yang menurut banyak orang adalah malam yang istimewa, justru terasa aneh. Apalagi saat dokter Hendi yang tidak lain adalah ayah Tama menceritakan semuanya. Tentang siapa itu Denny, tentang kecelakaan yang di alami Tama, dan tentang Tama yang telah mngalami koma selama 6 bulan.

Kini Cinta dan Tama telah berada di taman belakang Rumah Sakit itu, sepi, tak ada siapapun di taman itu. Mereka berdua berdiri saling berhadapan. Cinta merasa wujud arwah Tama semakin mengabur.
“"Aku senang kamu bisa menjengukku, Cinta. Aku bisa seperti itu karena kamu.”"
“"Aku?”" tanya Cinta bingung.
“"Aku lihat kamu waktu pulang sekolah, aku yakin itu kamu. Yah, mungkin karena aku terlalu fokus buat ngejar mobil jemputan kamu, jadi aku tertabrak mobil itu.”" Tama bercerita sambil tak melepas senyumnya. Cinta tak tahu harus bicara apa. Ia hanya bisa menangis.
"“Sepertinya ada yang aneh sama wujudku ini. Makin mengabur. Apa ini waktunya aku pergi ya? Hehehe"” ucap Tama sambil memperhatikan tangan dan tubuhnya. Cinta tetap tak berkata apapun, air matanya semakin deras mengalir. Mereka berdua terdiam.

Lelaki itu menatap Cinta, di tambah senyum simpulnya yang manis. Cinta tak membalas senyumnya. Ia hanya menatapnya dengan nanar, berharap raga lelaki yang mulai tak nyata tidak lenyap begitu saja.          

"Jadi jangan pergi. Ku mohon..!" aliran air mata semakin deras kembali terjun melalui pipi Cinta. Raga Tama semakin mengabur, tak sejelas seperti pertama mereka bertemu, Tama tersenyum miris. "Mungkin sudah saatnya aku pertegas kalau 'aku adalah PERTAMA nya CINTA'..."          
 "Tama...!" gadis itu tetap menangis.            
"Selamat tinggal, CINTA-ku..." rupa Tama semakin mengabur di iringi senyuman terakhirnya, kemudian lenyap begitu saja di telan dinginnya malam.            
Taman Rumah Sakit itu terasa semakin dingin oleh Cinta setelah Tama lenyap.            
"Dan aku adalah CINTA nya PERTAMA..." gumamnya seraya mengisak kepergian arwah itu.

-end-



BIODATA DIRI

Lina Wiranda, Lahir 18 Agustus 1995 Lhokseumawe, Aceh utara, perempuan, Islam. Alumni SMK Negeri 3 Lhokseumawe. Menganyam pendidikan di Universitas Politeknik Negeri Lhokseumawe Jurusan Tata Niaga Prodi Akuntansi, selain itu aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Tata Niaga (HIMATA).
Menyukai ilmu non exact salah satu nya mengarang prosa dan cerpen.
Email : Linawiranda18@gmail.com, No Hp : 085277734852, pin : 5b205cd1.

No comments:

Post a Comment